Kartel SMS


Antara Perlindungan konsumen dan Kartel SMS

Perdagangan bebas memiliki implikasi terhadap kehidupan ekonomi Indonesia di antaranya adalah persaingan di antara pelaku usaha. Pada dasarnya persaingan usaha adalah wajar dalam rangka memperluas kentungan dalam kehidupan ekonomi asalkan persaingan tersebut adalah persaingan yang sehat yang bertujuan menciptakan kekuatan pasar yang tidak dikuasai oleh individu atau kelompok tertentu. Perbuatan bersaing itu juga harus dapat memberikan perlindungan kepada konsumen serta pelaku usaha yang lain.
Pada tanggal 20 April 1998 Pemerintah Republik Indonesia telah mengeluarkan dan mengundangkan Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2003: 2). Undang-undang ini memberikan perlindungan atas ketidakmampuan konsumen dalam menghadapi perilaku para pelaku usaha yang meliputi perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor dan lain-lain yang menerapkan persaingan usaha tidak sehat dalam usahanya karena hak dan kewajiban pelaku usaha akan selalu berhadapan dengan hak dan kewajiban konsumen.
Pengertian konsumen menurut Pasal 1 Angka 2 Undang-undang Perlindungan Konsumen adalah setiap pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup, dan tidak untuk diperdagangkan. Tujuan dari perlindungan konsumen adalah (UU No. 8 Tahun 1999) :
1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian untuk melindungi diri.
2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari akses negative pemakaian barang dan / atau jasa.
3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.
4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.
5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.
6. Meningkatkan kualitas barang dan atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan / atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen.
Dalam perkembangan sebelumnya, produsen dan industriawan di Indonesia mendapatkan perhatian yang lebih dari pemerintah dalam rangka peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional. Produk-produk yang dihasilkan oleh produsen sering kali mengabaikan hak-hak konsumen dan produsen beranggapan bahwa perlindungan konsumen hanya akan menghambat perkembangan dunia usaha. Paradigma ini harus segera diubah dalam rangka untuk mewujudkan pembangunan ekonomi yang berkeadilan, dunia usaha seharusnya menjadikan perlindungan konsumen sebagai salah satu instrument yang penting dalam menjalankan usahanya sebagai wujud nyata ekonomi kerakyatan.
Telekomunikasi menjadi sebuah komoditas yang penting dalam kehidupan masyarakat dari kelas atas sampai kelas bawah dan kebutuhan primer masyarakat Indonesia saat ini. Pesatnya perkembangan dan persaingan industri telekomunikasi di Indonesia yang memiliki kultur masyarakat yang konsumtif serta merta tidak membuat konsumen berada dalam posisi yang menguntungkan.

Perkembangan industri telekomunikasi di Indonesia dimulai dengan lahirnya SATELINDO yang memperkenalkan layanan selulernya pada tahun 1993. Pada tahun 2003, IM3 melakukan merger vertikal dengan Indosat diikuti PT Telekomunikasi Indonesia (TELKOMSEL) pada tanggal 26 Mei 1995. PT Excelcomindo Pratama pada Oktober 1996, setelah itu lahir beberapa industri seluler lainnya hingga tahun 2008 seperti PT Mobile-8 dengan produk fren, PT Bakrie Telecom dengan produk Esia, PT Telkom dengan produk Flexi serta Indosat juga mengeluarkan produk CDMAnya yaitu Starone. Tanggal 30 Maret 2007, Hutchison mengeluarkan produk 3 dan PT Smart Telecom juga meluncurkan produk seluler Smart dengan tekhonologi CDMA pada tanggal 3 September 2007 (www.kpu.go.id/Putusan SMS KPPU Perkara Nomor: 26/KPPU-L/2007).

Secara logika, dengan semakin ketatnya persaingan maka akan menciptakan kondisi pasar yang berpihak pada konsumen yaitu menciptakan harga produk jasa pada titik yang wajar. Adanya perkembangan perindustrian telekomunikasi di Indonesia maka pemerintah wajib untuk memperhatikan pelayanan industri komunikasi ini untuk menjaga persaingan sehat antar pelaku usaha serta menjamin adanya perlindungan konsumen. Untuk membangun situasi tersebut pemerintah ikut campur tangan dengan membentuk Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 75 tahun1999 yang bertujuan mengawasi pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, tujuannya adalah untuk melindungi kepentingan konsumen serta pelaku usaha itu sendiri dengan mengeliminasi persaingan tidak sehat sehingga tercipta persaingan sehat dan wajar dalam era globalisasi.

Pengembangan dan pengaturan perlindungan konsumen yang direncanakan adalah untuk meningkatkan martabat dan kesadaran konsumen dan secara tidak langsung mendorong pelaku usaha di dalam nenyelenggarakan kegiatan usahanya. Intinya dalam pengaturan perlindungan konsumen adalah memberikan kepastian dan perlindungan hukum.

Tujuan UU Persaingan Usaha No.5 Tahun 1999 dalam Pasal 3 adalah
Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat;

Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil;

Mencegah praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha; dan
Terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.

KPPU menemukan enam operator terbukti melakukan kartel SMS yaitu membuat perjanjian kerjasama atau (PKS) dalam penetapan tarif SMS sebesar Rp 250 – Rp 350 dirasakan sangat tinggi yang dinilai merugikan konsumen hingga Rp 2,827 triliun (http://nirwansyahputra.wordpress.com). Akibat kartel SMS tersebut ke enam operator tersebut secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 11 UU Persaingan Usaha No.5 Tahun 1999.
Pasal 11 tentang kartel menyebutkan:
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha saingannya, yang bermaksud mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran auatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

Rincian kerugian konsumen itu adalah dari Telkomsel Rp 2,123 triliun, XL Rp 346 miliar, Mobile-8 Rp 52,3 miliar, Telkom Rp 173,3 miliar, Bakrie Telecom Rp 62,9 miliar, Smart Telecom Rp 0,1 miliar. Angka itu didasarkan pada proporsi pangsa pasar operator. Berdasarkan putusan tersebut, KPPU memberikan sanksi denda kepada operator XL dan Telkomsel masing-masing senilai Rp 25 miliar, Telkom (Rp 18 miliar), Bakrie Telecom (Rp 4 miliar), Mobile-8 Telecom (Rp 5 miliar). (http://www.antara.co.id). Kerugian konsumen adalah karena konsumen kehilangan kesempatan memperolah tarif SMS yang lebih rendah, hilangnya kesempatan menggunakan layanan SMS yang lebih banyak pada harga yang sama serta konsumen dirugikan secara tidak langsung yaitu terbatasnya kesempatan untuk memilih. Seharusnya, perkembangan teknologi informasi membuat persaingan di antara pelaku usahanya semakin kompetitif untuk membentuk harga pasar yang sesuai.
Posisi konsumen seluler di Indonesia kurang menguntungkan karena kurangnya pengetahuan tehadap produk yang dipakainya atau kesadaran akan haknya juga masih rendah dikarenakan pemerintah sebagai regulator kurang memberikan perhatian yang khusus. Salah satu hak konsumen adalah hak untuk mendapatkan barang sesuai dengan nilai tukar yang diberikannya, hal ini dimaksudkan untuk melindungi konsumen dari kerugian akibat permainan harga secara tidak wajar karena dalam keadaan tertentu konsumen dapat saja membayar harga suatu barang yang jauh lebih tinggi daripada kegunaan atau kualitas dan kuantitas barang atau jasa yang diperolehnya. Pelaku usaha bertanggung jawab atas kerugian konsumen dalam penggunaan barang dan atau jasa yang diperdagangkan terhadap tarif SMS yang tidak transparan.

Konflik Kashmir

Latar Belakang Konflik Kashmir

Kashmir yang terletak di kaki Gunung Himalaya memang patut mendapat julukan surga. Tanahnya subur, pemandangannya indah, dengan sungai-sungainya yang mengalir. A garden of eternal spring dan an iron fort to a palace of kings menjadi julukan Kashmir atas keindahan alamnya yang luar biasa. Namun nasib rakyat Kashmir tak seindah dengan julukannya, mereka hidup dalam kegetiran dan ketakutan.

Wilayah Kashmir memiliki keuntungan yang sangat menggiurkan dari segi ekonomi. Kashmir merupakan obyek wisata yang terkenal dengan keindahan alamnya dan juga merupakan pusat industri wol, karpet, serta dengan tanahnya yang subur. Selain itu Kashmir merupakan tempat mengalirnya sungai-sungai besar Indus, Jhelum yang penting bagi sektor pertanian. Dibidang militer, lembah Kashmir adalah tempat yang sangat strategis bagi pertahanan negara dengan wilayahnya yang memiliki topografi pegunungan, serta merupakan wilayah dengan perbatasan dengan banyak negara seperti Afganistan, China, Tibet.

Sebelum Kerajaan Islam Mughol berkuasa pada tahun (1526-1858), Kashmir dikuasai oleh kerajaan Budha dan Hindu. Kemudian Kerajaan Mughol runtuh karena mengalami kekalahan dalam perang melawan Kerajaan Inggris dalam peristiwa Sepoy Muntiny. Akibatnya, seluruh daratan India dikuasai oleh Inggris termasuk Kashmir. Namun kemudian Kashmir dijual kepada keluarga Hindu Dogra hingga tahun 1947 pada masa Harry Singh tetapi masih dalam wilayah administrasi Kerajaan Inggris. Pada masa ini Masyarakat Muslim Kashmir mulai mendapatkan tekanan dari pemerintahan Hindu Dogra.Ledakan konflik Kashmir dimulai karena keinginan masyarakat Muslim untuk membentuk pemerintahan yang berdiri sendiri serta terpisah dengan India dengan mayoritas Hindu. Hal ini terbukti dengan berdirinya Pakistan menjadi negara yang merdeka pada 14 Agustus 1947. “Louis Mountbatten, Raja Muda Inggris di India sebagai perwakilan pemerintah Inggris pada akhir persetujuan pembagian India menjadi negara Muslim dan non-Muslim menyatakan bahwa negara-negara kepangeranan (Princely States) dapat memilih untuk bergabung dengan salah satu dari kedua negara tersebut dengan mempertimbangkan komposisi agama negara mereka, kondisi geografik serta harapan rakyatnya”[1]. Faktanya berbicara lain karena Jammu Kashmir berada dalam kekuasaan pemimpin yang beragama Hindu, dalam tindakannya Maharaja Harry Singh bertindak ragu untuk tidak memilih India ataupun Pakistan dan ini menimbulkan keresahan rakyat Jammu Kashmir yang mayoritas ingin bergabung dengan Pakistan karena dari segi historis, emosional dan kultural Kashmir memiliki kedekatan dengan Pakistan karena faktor agama yang sama yaitu Islam, karena dari sekitar 12.000.000 jiwa penduduk Jammu-Kashmir 77 % persen adalah Muslim. Kemudian yang terjadi adalah terbaginya Jammu Kashmir menjadi dua friksi besar antara Muslim (Kashmir) dan Hindu (Jammu). Sikap Harry Singh ini menimbulkan kemarahan rakyat Kashmir dengan melakukan protes yang dibantu oleh Pakistan yang berdampak pada semakin terdesaknya posisi Harry Singh. Dalam posisi yang demikian, ia meminta bantuan kepada India, PM Jawaharal Nehru bersedia membantu dengan syarat ada jaminan bahwa Kashmir akan bergabung dengan India. Penandatanganan penggabungan wilayah Kashmir dengan India terjadi pada tanggal 26 Oktober 1947 berdasarkan perjanjian asesi. Faktor inilah yang kemudian menjadi awal petaka konflik di Kashmir karena “Pakistan masih mempersoalkan kesahannya perajanjian tersebut karena India tidak pernah melaksanakan referendum seperti yang direncanakan oleh Lord Mountbatten pada tanggal 27 Oktober 1947”[2]. India maupun Pakistan masing-masing menempatkan tentaranya di Kashmir sehingga meletuslah perang Kashmir yang pertama. “Gencatan senjata diadakan pada tanggal 1 Januari 1949 dengan membuat garis demarkasi di Jammu & Kashmir, yang memisahkan daerah sebelah Timur (lembah Kashmir, Jammu dan Ladakh) dijaga oleh pasukan India, sebelah Barat (dikenal sebagai Azad Kashmir), diawasi oleh Pakistan”[3]. Pesengketaan kedua belah pihak masih belum berakhir karena masing-masing pihak merasa paling berhak untuk menguasai Kashmir secara keseluruhan. Kini sepertiga atau 33% wilayah kashmir dikuasai oleh Pakistan dan secara tak tercatat menjadi provinsi kelima di Pakistan dan menangani administrasi Azad Kashmir serta memiliki menteri khusus yaitu menteri urusan Kashmir yang bertanggung jawab secara penuh terhadap wilayah ini dengan jumlah penduduk Muslimnya sekitar 99%. Sedangkan India menguasai sisanya dengan memberikan status khusus yang diatur dalam article 370 of the constitution of India, di mana dari 8 juta penduduknya sekitar 6 jutanya adalah Muslim. Persaingan (rivalitas) dari negara-negara didekatnya India dan Pakistan telah menempatkan rakyat Kashmir menjadi korban utamanya, karena selama lebih dari 5 dekade konflik rakyat Kashmir menanggung resiko penderitaan. Pada perang India-Pakistan yang pertama terdapat kurang lebih 1.500.000 jiwa pengungsi yang memasuki wilayah Pakistan. Jumlah ini ditambah lagi dengan pengungsi baru sebagai akibat dari perang India-pakistan kedua dan ketiga pada tahun 1965 dan 1971. Data dari Amnesty Internasional (London) dan Asia Watch (New York-Washington) menyebutkan, sejak 1990 sampai 1999 saja, sekitar 71.204 rakyat Kashmir telah tewas dibunuh aparat India. Dan belum termasuk yang terluka mencapai 29.561, serta berbagai kerusakan harta benda. Hal yang tak kalah tragisnya terdapat 7.613 wanita telah menjadi korban pemerkosaan[4]. Semua kejahatan tentara India itu didokumenasi oleh Amnesti Internasional, US Human Rights Watch Asia, Physician for Human Rights, International Commission of Jurists. India tak hanya menolak permintaan agar menghentikan pemusnahan warga Kahmir itu, tapi juga menutup akses lembaga-lembaga tersebut memasuki Kashmir[5]. Inilah nasib rakyat Kashmir, yang mengalami tragedi kemanusiaan tanpa adanya perhatian dari masyarakat internasional secara proporsional.Perjuangan rakyat Kashmir sendiri mengalami sebuah dilema, karena jika mereka melakukan perjuangan secara damai maka India akan menganggap kalau Kashmir menerima statusnya sebagai bagian dari India. Namun apabila mereka menggunakan cara perjuangan maka India tidak segan untuk menggunakan cara kekerasan dan militer untuk membungkam perjuangan rakyat Kashmir melalui pasukan daratannya, pasukan para militer, reserse polisi, dan pasukan pengawal perbatasan BSF ( border security forces) yang sering melakukan penyerangan dan pembunuhan para pejuang Kashmir ataupun penduduk sipil secara terang-terangan. Saat ini di Kashmir terdapat lebih kurang 600.000 tentara, dan mencap kalau perjuangan mereka adalah sebuah gerakan separatis dan teroris untuk memberikan citra negatif terhadap perjuangan rakyat Kashmir di dunia internasional. Dalam kasus Kashmir selain masyarakat mayoritas Muslim terdapat pula minoritas terbesar yaitu orang-orang Hindu yang ingin menjadikan wilayah Jammu Kashmir menjadi bagian integrasi India. India sendiri, tidak hanya berhadapan dengan Pakistan dalam persoalan Kashmir tapi harus berhadapan pula dengan perlawanan-perlawanan rakyat sipil atas pendudukan India di Kashmir, Melihat situasi yang semakin rumit untuk mencapai kebebasan dari belenggu India, membuat perjuangan rakyat Kashmir semakin gencar melakukan perlawanan bersenjata. India menyatakan dan mencap bahwa mereka pejuang Kashmir adalah kaum pemberontak, teroris atau bahkan separatis yang menimbulkan pesan negatif terhadap perjuangan suci para pejuang Kashmir di dunia Internasional, yang berkeinginan untuk memisahkan diri dengan India dan tidak juga bergabung dengan Pakistan. Munculnya organisasi militan Front Pembebasan Jammu-Kashmir (JKLF) yang berjuang demi kemerdekaan Kashmir yang terbentuk sebagai akibat dari penindasan (represion) dan penganiayaan (opression) yang dilaksanakan oleh militer tetapi karena jumlah mereka yang tidak terlalu signifikan, maka usaha-usaha mereka untuk melawan kekuasaan akan menjadi sebuah pekerjaan dan perjuangan yang sangat sulit untuk tercapai. Umumnya mereka yang pro Pakistan adalah Muslim, namun diantara umat Islampun tidak semuanya bersatu, ada yang pro Pakistan, ada yang pro India ada pula yang lebih memilih kemerdekaan.Menguatnya keinginan sebagian dari rakyat Kashmir dibawah payung JKLF untuk merdeka dan memisahkan dirinya dengan India juga merupakan faktor pemicu gerakan perlawanan terhadap India. Dan ini akan semakin memperumit usaha perdamaian di kashmir. Saat ini yang dibutuhkan rakyat Kashmir adalah melaksanakan referendum, apapun hasilnya bergabung sebagai bagian integrasi India ataupun Pakistan termasuk kemerdekaan dan kedua negara harus rela menerima keputusan rakyat Kashmir. Politik dalam negeri India terhadap Kashmir yang memiliki pola kekerasan dalam kebijakannya harus dilihat lebih dalam melalui proses pengambilan kebijakannya, politik di India selalu dikuasai oleh dua partai yaitu partai Kongres dan BJP dimana kedua partai tersebut memiliki pijakan yang sama dalam mempertahankan Kashmir sebagai bagian dari integrasi India. Yang lebih ekstrim lagi adalah kebijakan yang diambil oleh partai ( Bharatiya Janata Party) BJP yang merupakan kelompok ekstrimis Hindu yang dilandaskan pada inspirasi Hindutva yaitu filosofi Hindu. Dalam pandangannya kaum non Hindu diharuskan mengadopsi kultur dan agama Hindu serta belajar tentang Hinduisme atau “gerakan kultural Hindu yang telah lama hidup dan menekankan bahwa semua orang India yang lahir di India memiliki hubungan suci dengan tanah air, dan adalah orang Hindu, baik mereka menyatakan secara terbuka atau tidak.”[6] Apabila tidak menerima prinsip tersebut, akan dijadikan sebagai sasaran kekerasan, inilah yang kemudian terjadi pada minoritas Islam di India. Faktor itu pula yang menjadi landasan dalam melaksanakan kebijakannya di Kashmir. Pakistan menggunakan co-religionist agar Kashmir menjadi bagian integrsinya. Selain itu usaha-usaha yang dilakukan Pakistan adalah terus mengusahakan agar isu-isu mengenai konflik Kashmir dan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh India dibawa kedalam forum Internasional melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan masyarakat Internasional. Sebaliknya India yang menuduh Pakistan bahwa separatis Kashmir hanyalah sebuah rekayasa dari Pakistan. Seperti yang terjadi pada kasus bom Bombay 12 Juli 2006, dalam kasus ini India menuduh bahwa militan Kashmir dibalik pemboman atas dukungan Pakistan yang semakin memburuknya hubungan India Pakistan yang berakibat pada penundaan proses perdamaian. Memang PBB telah ikut campur tangan dalam menyelesaikan konflik di Kashmir, dengan membentuk komisi yang terkenal dengan nama The United Nations Commission For India and Pakistan (UNCIP). Telah dikeluarkan dua resolusi mengenai Kashmir yang dikeluarkan pada tanggal 13 Agustus 1948 dan 5 Januari 1949 yang garis besar isinya adalah menginginkan agar rakyat Kashmir untuk menentukan nasibnya sendiri ( right of self determination) untuk memilih India atau Pakistan melalui referendum atau plebisit dalam pengawasan PBB dan ini telah disepakati oleh India, Pakistan dan masyarakat Internasional. Berikut adalah salah satu dari cuplikan jaminan pemerintah India di bawah pimpinan Nehru terhadap plebisit di Kashmir

“ Kami telah membawa isu Kashmir ke PBB dan memberikan janji pada suatu solusi damai atas Kashmir. Sebagai sebuah bangsa yang besar kami tidak dapat menarik kembali janji itu. Kami telah meninggalkan pertanyaan bagi solusi final untuk rakyat kashmir dan kami memutuskan untuk berpegang pada keputusan mereka”[7] Diakui bahwa saat ini peran Internasional terhadap kasus Kashmir sangat kecil sekali, terbukti PBB sebagai organisasi perdamaian dunia sampai saat ini belum mampu menyelesaikan konflik Kashmir secara berkeadilan dan tidak mempunyai sikap tegas untuk memberikan sanksi terhadap pihak-pihak yang melanggar perjanjian yang telah disepakati. Ibaratnya macan ompong, walupun besar dan gagah, namun tidak memiliki sikap keberanian yang seharusnya dimiliki PBB sebagai badan Internasional yang memiliki fungsi untuk menyelesaikan konflik. Bukti ketidakmampuan PBB adalah sikap pengabaian India terhadap resolusi PBB. Pada tahun 1953, India telah mendeklarasikan bahwa tidak ada perlunya mengadakan sebuah plebisit bahkan India telah memaksakan pemilu yang didalamnya penuh kecurangan demi kepentingannya. Bahkan India menganggap bahwa konflik kashmir adalah masalah dalam negeri yang tidak memerlukan campur tangan asing. Karena ada kekhawatiran kalau hasilnya nanti akan merugikan kepentingan nasional India yang menjadikan Kashmir masuk dalam kekuasaan Pakistan. Sedangkan dalam banyak kesempatan dalam forum PBB India selalu memberikan janjinya untuk mengadakan plebisit dalam kasus Kashmir. Inkonsisten India mengakibatkan Kashmir masuk kedalam jurang kesengsaraan yang berkepanjangan.. China, Amerika Serikat, Uni Soviet, Inggris dan Perancis memiliki kepentingan besar dalam memanfaatkan eksistensi konflik Kashmir sebagai komoditas untuk mencapai kepentingan nasional mereka. Selain karena letaknya yang strategis, India juga memiliki kekuatan ekonomi yang tangguh serta memiliki sumber daya yang melimpah dan memiliki jumlah penduduk di atas satu milyar jiwa yang merupakan pangsa pasar yang sangat strategis, namun kemajuan yang dicapai India ini ternyata mendapatkan respon negatif dari sebagian negara tadi dengan menjadikan Pakistan sebagai partnernya Berbeda dengan India, Pakistan memiliki perekonomian yang lemah bila dibandingkan dengan India, apalagi di Pakistan sering terjadinya pergantian kepemimpinan dan kudeta militer.dengan mayoritas penduduknya adalah Islam. “Serta ada ketakutan yang tidak tersembunyikan bahwa dunia barat memang sangat curiga dengan segala hal yang berbau Islam, negara Islam ataupun fundamentalisme Islam. Islam dipandang sebagai momok yang mengancam kemapanan hegemoni barat”[8]. Apalagi setelah runtuhnya gedung WTC pada peristiws 11 September 2001 yang mengubah pandangan masyarakat internasional terhadap masyarakt Muslim. Sehingga kebijakan luar negeri yang mereka ambil sangat berat sebelah terhadap perkembangan dan penyelesaian konflik Kashmir, karena kepentingan nasional mereka lebih penting jika dibandingkan dengan penderitan yang harus dialami oleh rakyat Kashmir yang mayoritas penduduknya adalah Muslim.



[1] M. Ali Kettani, Minoritas Muslim di Dunia Derwasa ini, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2005, hal 161.

[2] “kisah dibalik kisah kashmir”,on line, www.didyouknow.cd/indonesia/kisah/story, diakses tanggal 21 september 2006.

[3] Ibid

[4] Dhurorudin Mashad, Kashmir : Derita Yang Tak Kunjung Usai, Jakarta, Khalifa, 2004, hal 3-4.

[5] “ muslim Kashmir Terkoyak Banyak Kepentingan” on line www.republika.co.id/koran_detail diakses tanggal 21 September 2006.

[6]lonceng kematian sekulerisme di India” , kompas, 29 April 2002 hal 3

[7] Ibid, hal. 10.

[8] Dhurodin Mashad, Agama dalam Kemelut Politik : Dilema Sekulerisme di India. Jakarta. PT Pustaka Cidesindo, 1999, hal 117